"layu sebelum berkembang"
Bayangkan kata tersebut dalam kata
"cinta"
Di suatu persinggahan yg tampaknya di sengaja,
Dia berbalik, menatap lekat ke mataku.
Telak, membuatku sontak hingga ke dalam jantungku,
"Tidakkah kau tahu selama ini?"
"Apa?"
"Aku menyukaimu."
Mataku yang cukup belo hanya membelalak, jika bisa keluar sudah pastilah melompat keluar. Sangat munafik jika kutepis perasaan senang dalam hatiku. Bagaimana tidak? Aku, tidak bahkan kami berdua mungkin sudah menunggu momen ini sangat lama. Di saat sekarang? It's too late.
Tapi, tetap saja kuhanya diam dan seakan keringat dingin. Aku berani bertaruh, aku tak menunjukkan ekspresi apapun, seperti kata temanku, aku sangat cerdas menyembunyikan perasaanku jika terkait cinta, sekalipun aku cinta mati terhadap orang itu.
Tapi, tetap saja kuhanya diam dan seakan keringat dingin. Aku berani bertaruh, aku tak menunjukkan ekspresi apapun, seperti kata temanku, aku sangat cerdas menyembunyikan perasaanku jika terkait cinta, sekalipun aku cinta mati terhadap orang itu.
Lamunanku kembali ke dunia nyata, "Aku juga menyukaimu."
Tapi, tentu saja itu hanya dalam pikiranku, tdk mungkin kukeluarkan kata itu, benar-benar bodoh.
"Maaf," ucapnya sejurus kemudian memecahkan lamunanku.
"Jika kau mau, sekarang juga aku akan memutuskannya."
"APA???"
Sekali lagi, itu hanya dalam pikiranku.
Dengan tanpa pikir panjang, pikiranku langsung mengarah ke kata ganti -nya pada kata memutuskannya.
Hanya satu orang yang pasti mengarah pada kata tersebut, kekasihnya. Namun, aku tetap diam dan kali ini menatap lekat ke matanya, sangat dalam, berusaha memahami jalan pikirannya sampai tega mengatakan hal tersebut.
"Jika saja dari dulu aku memiliki keberanian ini..."
Baru saja aku hendak membuka mulut, dia sudah lebih dulu, "Tapi, kau bersikap seolah acuh tak acuh padaku."
Ucapan itu telak membuatku kembali bungkam.
"Selama ini, aku bertahan dengannya hanya karena aku menjaga perasaanku padamu, tapi..."
SIAL!!! Tanpa sadar, kurasakan dia kabur dalam pandanganku melalui mataku yang berair. Berangsur, pipiku pun basah. Kenapa pula aku harus menangis?
"Selama inipun, aku menjaga perasaanku padamu. Aku menunggu saat seperti ini, tapi..." batinku.
Tidak berani kulanjutkan pemikiran menyakitkan itu sesaat setelah bayangan sang kekasih, kekasihnya muncul dalam benakku. Bagaimana mungkin? Jika aku melakukannya, sudah pasti dirikulah yang akan terlihat jahat dan bahkan (murahan?), sekalipun aku lebih dulu mengenalnya.
Masih kuingat, pertama kali aku melihatnya, teramat sangat aku tidak menyukainya. Tapi, kali ini, teramat sangat aku menyukainya. Orang ini, dia adalah orang yang sama dan satu-satunya yang bisa membuatku melupakan cinta pertamaku yang menyakitkan dan mungkin menyedihkan, orang yang awalnya berada pada penilaian di bawah rata-rataku, bukan dari segi tampang atau harta atau apapun itu, tapi terlebih kepada sikapnya, sikap yang membuatku dari awal tidak menyukainya, tapi sikap itu pula yang membuatku sadar bahwa selama ini aku salah menilainya.
Dia menunggu reaksiku,
Kuseka air mata di pipiku dan mengumpulkan segenap hati dan sisa ketegaranku, lalu tersenyum tipis, "Sebaiknya kita anggap hari ini tidak pernah ada."
Dia pun balik tersenyum padaku, "Kelak, semoga kau adalah bidadariku di surga."
Jantungku kembali membuncah, hanya ku-amin-kan dalam hati dengan penuh ketulusan.
"Benar, jika saat ini belum menjadi waktu dan tempat yang tepat, kelak di surga, pasti akan menjadi waktu dan tempat yang tepat," batinku.
Satu hal yang kusesali,
Namun, satu hal yang kusyukuri,
Tidak berani kulanjutkan pemikiran menyakitkan itu sesaat setelah bayangan sang kekasih, kekasihnya muncul dalam benakku. Bagaimana mungkin? Jika aku melakukannya, sudah pasti dirikulah yang akan terlihat jahat dan bahkan (murahan?), sekalipun aku lebih dulu mengenalnya.
Masih kuingat, pertama kali aku melihatnya, teramat sangat aku tidak menyukainya. Tapi, kali ini, teramat sangat aku menyukainya. Orang ini, dia adalah orang yang sama dan satu-satunya yang bisa membuatku melupakan cinta pertamaku yang menyakitkan dan mungkin menyedihkan, orang yang awalnya berada pada penilaian di bawah rata-rataku, bukan dari segi tampang atau harta atau apapun itu, tapi terlebih kepada sikapnya, sikap yang membuatku dari awal tidak menyukainya, tapi sikap itu pula yang membuatku sadar bahwa selama ini aku salah menilainya.
Dia menunggu reaksiku,
Kuseka air mata di pipiku dan mengumpulkan segenap hati dan sisa ketegaranku, lalu tersenyum tipis, "Sebaiknya kita anggap hari ini tidak pernah ada."
Dia pun balik tersenyum padaku, "Kelak, semoga kau adalah bidadariku di surga."
Jantungku kembali membuncah, hanya ku-amin-kan dalam hati dengan penuh ketulusan.
"Benar, jika saat ini belum menjadi waktu dan tempat yang tepat, kelak di surga, pasti akan menjadi waktu dan tempat yang tepat," batinku.
Satu hal yang kusesali,
"Orang yang mencintainya adalah diriku,
namun orang yang menolak dan melepaskannya adalah diriku pula."
Namun, satu hal yang kusyukuri,
"Dan karena itu pula, terima kasih karena telah mengajarkanku untuk mulai bisa mengikhlaskan cinta,
bukan malah melupakannya, sekalipun itu sangat menyakitkan atau menyedihkan.
Aku bahagia telah mencintai dua orang yang kutahu pasti mencintaiku."
Aku bahagia telah mencintai dua orang yang kutahu pasti mencintaiku."